Sejarah Karawitan Jawa " Karawitan
berasal dari bahasa jawa rawit berarti rumit, berbelit – belit, tetapi rawit
juga berarti halus, indah-indah. Sedangkan kata ngrawit berarti suatu karya seni yang memiliki sifat-sifat yang halus,
rumit, dan indah
Kata jawa
karawitan khususnya dipakai untuk mengacu kepada musik gamelan, musik Indonesia
yang bersistem nada nondiatonis ( dalam laras slendro dan pelog ) yang
garapan-garapannya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki
fungsi, pathet dan aturan garap yang
tampak nyata dalam sajian gending, baik itu yang berbentuk sajian
instrumentalia, vokalia dan campuran yang indah didengar. mengandung
nilai-nilai histories dan filsofis bagi bangsa Indonesia, maupun asesoris lainnya.
Definisi Karawitan " Adalah musik Indonesia yang berlaras non
diatonis (dalam laras slendro dan pelog) yang garapan-garapannya sudah
menggunakan sistim notasi, warna suara, ritme, memiliki fungsi, sifat pathet,
dan aturan garap dalam bentuk instrumentalia, vokalis dan campuran, enak
didengar untuk dirinya maupun orang lain (Suhastjarja,1984)
LARAS
Perangkat
gamelan yang digunakan dalam seni karawitan memiliki 2 yaitu Laras slendro dan
pelog. Laras slendro dan pelog adalah salah satu dari dua unsur utama yang
mencirikan karawitan.
a. Laras Slendro
Sistem urutan
nada-nada yang terdiri dari lima nada dalam satu gembyang dengan pola jarak yang hampir sama rata. Sedangkan laras (
nada-nada ) yang digunakan dalam laras slendro adalah:
1. Penunggul, atau sering juga disebut barang, diberi
simbol 1(angka arab satu), dan dibaca siji atau ji.
2. Gulu, atau jangga (kromo jw.), diberi simbol 2 (angka
arab dua), dibaca loro atau disingkat ro
3. Dhodho, atau jaja atau tengah, diberi simbol 3 (angka arab
tiga), dan dibaca telu atau dibaca singkat lu.
4. Lima, diberi simbol 5 (angka arab lima ), dibaca lima
, atau mo sebagai bacaan singkatnya.
5. Nem, diberisimbol 6 (angka arab enam), dibaca nem.
Selain lima
nada pokok tersebut juga sering disebut beberapa nama laras atau nada ,
seperti:
1. Barang, yaitu nada gembyangan dari penungggul, diberi
simbol 1(angka arab satu dengan titik diatas angka), dibaca ji atau siji.
2. Manis, yaitu nada gembyangan gulu, diberi simbol angka
2 ( angka arab dua dengan titik diatas). Manis hanya digunakan untuk laras
kenong dan kempul.
b. Laras Pelog.
Sistem urutan nada-nada yang terdiri dari lima nada (atau
tujuh) nada dalam satu gembyang dengan menggunakan satu pola jarak nada yang
tidak sama rat, yaitu tiga (atau lima) jarak dekat dan dua jauh.
Dalam penyajian, memang sering terdapat beberapa gendhing
yang disajikan dalam laras pelog dengan hanya menggunakan lima nada saja,
terutama dalam kasus penyajian gendhing pelog sebagai hasil alih laras slendro,
yaitu gendhing yang biasanya atau “aslinya” disajikan dalam laras slendro,
kemudian disajikan dalam dalam laras pelog.
Suatu hal yang biasa dalam karawitan Jawa bahwa suatu gendhing dapat dan
boleh disajikan dalam dua laras yang berbeda.
Perangkat
Gamelan
Dalam seni
karawitan terdapat berbagai jenis perangkat gamelan yang di bedakan menurut
jenis,jumlah dan fungsinya di masyarakat yang sejak dulu dan sampai sekarang
masih dilestarikan antara lain:
1. Gamelan
Kodhok Ngorek
Gamelan ini
hanya dimiliki oleh kalangan keraton dan masyarakat umum tidak dibenarkan
memiliki perangkat gamelan sejenis gamelan ini biasanya digunakan untuk:
- Hajatan atau peristiwa perningkahan(temu penganten)
- Upacara(grebeg puasa,bakda,mulud)
- Tanda atau berita tentang adannya kelahiran bayi perempuan
Berikut ini komposisi gamelan Kodhok Ngorek:
- Sepasang kendang alit dan kendang ageng
- Satu atau dua rancak bonang yang terdiri dari delapan
pencon
- Satu rancak rijal yang terdiri dari delapan pencon
- Dua buah gong
- Sepasang penontong
- Sepasang rojeh
- Sepasang kenong
- Serancak kecer
- Serancak gender barung
- Serancak gambang gangsa
Repertoar gending yang biasanya digunakan dalam perangkat
gamelan ini ,yaitu Dhendha santi, pedaringan kebak dan Dhendha gedhe.
Kebanyakan orang menyebut bahwa gamelan kodhok ngorek adalah gamelan dua nada
dan berlaras pelok. Adapun lagu pokok kodhok ngorek yang terdapat pada gamelan
ageng adalah sebagai berikut:
7.76
7.76 7.76 7.76 untuk gamelan tumbuk nem
6.65
6.65 6.65 6.65 untuk gamelan tumbuk lima
Gendhing ini disajikan dari irama seseg (cepat),kemudian
tamban atau dados (lambat) kembali lagi keseseg lalu suwuk (selesai)
2. Gamelan Monggang
Gamelan ini memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
gamelan kodhok ngorek, walau dari segi umur gamelan ini lebih muda.kedudukan
ini dicapai karena fungsi dan perannya yang lebih banyak dan lebih penting
(tinggi). Fungsi perangkat gamelan ini antara lain:
-Memberi tanda pada berbagai upacara(penobatan,jumenengan
raja)
-Mengiringi gunungan pada berbagai upacara grebeg
-Menengarai berbagai peristiwa penting
-Mengiringi adon-adon (aduan,sabungan)
-Mengiringi latihan perang
-Menengarai bayi laki-laki dari keluarga raja
-Menengarai kemangkatan(meninggalnya raja)
Gamelan Monggang memiliki komposisi ricikan sebagai
berikut:
-Serancak bonang yang terdiri dari empat bagian
-Satu atau lebih rancak bonang.berisi enam pencon yang
terdiri tiga nada
-Tiga rancak kecer
-Satu gayor penonthong terdiri dari dua pencon yang
larasnya berbeda
-Sepasang kendang
-Sepasang gong ageng
-Sepasang rancak
kenong (japan)
Gamelan monggang juga disebut dengan gamelan patigan,
artinya gamelan yang memiliki tiga nada pokok. Gamelan ini juga berlaras pelok
dan slendro, adapun pola tabuhannya sebagai berikut:
1615 / 3231 / 2726
Nada pertama adalah dua nada diatas seleh
Nada kedua adalah satu nada diatas seleh
Nada ketiga adalah nada seleh
Gendhing ini disajikan dari irama seseg (cepat), kemudian
tamban atau dados (lambat) kembali lagi keseseg lalu suwuk (selesai).
3. Gamelan Carabalen
Gamelan Carabalen adalah gamelan dari jenis pakumartan,
yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat atau lembaga diluar keraton.
Gamelan ini memiliki fungsi yang pasti, yaitu untuk menghormati kedatang para
tamu. Gamelan ini memiliki komposisi ricikan sebagai berikut:
- Sepasang kendang (lanang dan wadon)
- Satu rancak gambyong (terdiri dari empat pencon bonang)
- Satu rancak bonang yang berfungsi sebagai klenang dan
kenut
- Sebuah penontong
- Sebuah kenong (japan)
- Sebuah kempul dan gang dalam satu gayor
Gamelan ini memiliki empat nada pokok dan memiliki lebih dari
satu gendhing pada repertoarnya. gendhing-gendhing tersebut antara lain:
- Lancaran Gangsaran
- Lancaran Klumpuk
- Lancaran Glagah Kanginan
- Lancaran Bali-Balen
- Ketawang Pisang Bali
- Ladrang Babad Kenceng
4. Gamelan Sekaten
Gamelan ini dianggap paling terkait dengan upacara islam
(sebagai syiar agama islam) dan gamelan ini ditabuh atau dibunyikan pada pekan
sekatenan atau grebeg mulud pada setiap bulan kelahira Nabi Muhamad S.A.W.
Serta pada setiap acara grebeg-grebeg yang lain. Keraton Surakarta memiliki dua
perangkat gamelan sekaten (Gamelan Sekaten Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur
Madu) dan kedua gamelan ini berlaras pelok. Gamelan ini sengaja dibuat dengan
ukuran yang besar supaya berbeda dengan gamelan yang lain.
Berikut ini adalah komposisi ricikan yang dapat dilihat dan digunakan pada
kedua perangkat
gamelan sekaten yang terdapat pada Keraton Surakarta. Masing-masing adalah:
- Satu
rancak bonang (penembung)
- Dua
rancak saron demung
- Dua
rancak saron barung
- Dua
rancak saron penerus
- Satu
rancak kempyang(berisi dua pencon)
- Sebuah
bedhug
- Sepasang atau dua buah gong besar
Semua perangkat gamelan ini dibuat dari bahan perunggu
dan larasan gamelannya yang kebanyakan tidak berada pada wilayah jangkauan atau
ambitus suara normal maka dengan itu tidak melibatkan vokal dalam penyajiannya.
Gendhing yang biasa disajikan antara lain:
- Ladrang Rambu dan Rangkung laras pelok patet lima
- Ladrang Barang Miring laras pelok patet barang
Konon gamelan ini berasal dari satu perangkat gamelan
yang sama, yang dulunya terdapat dan digunakan pada pekan sekaten di Demak.
Kemudian tradisi ini dilanjutkan di Mataram (Surakarta dan Yogyakarta). gamelan
ini biasanya ditempatkan di depan halaman Masjid Agung, yang masing-masing
gamelan mempunyai tempat sendiri-sendiri (bangsal), kemudin disebut bangsal
Pagongan.
5. Gamelan Ageng
Perangkat gamelan standar (lengkap jenis ricikannya)
dengan berbagai jenis kombinasi dan di dalam kehidupan sehari-hari hampir selalu
di gunakan untuk berbagai keperluan, dari ritual masyarakat yang paling profan
dan untuk hiburan (komersial). Dari perangkat gamelan ini dapat di bentuk
perangkat gamelan lainnya dengan komposisi, nama dan kegunaan yang bervariasi.
Diantarannya: perangkat klenengan, wayangan, gadhon, cokekan, siteran dan
sebagainya serta di dalam perangkat gamelan ini juga terdapat gamelan Super.
Gamelan ini adalah salah satu bentuk pengembangan ukuran, jenis, dan jumlah
dari unsur, terutama ricikan perangkat gamelan ageng {bila gamelan ageng cukup
memiliki dua buah saron barung , satu saron penerus dan satu demung tetapi
kalau pada perangkat gamelan super
memiliki dua kalinya gamelan ageng (balungan) jumlah tersebut masih di kembangkan
dengan di tambahnya beberapa kempul, kenong, gong, dan sebagainya pada
masing-masing laras (slendro dan pelok)
yang jumlahnya relatif dan menurut selera sipemesan gamelan.
Perkembangan dan pengembangan perangkat gamelan menjadi
semakin meningkat dan beragam baik kualitas maupun kuantitasnya. Seperti instrumen dan permainan
musik dari luar dunia gamelan (terompet, drum set, keyboard, dan lain-lain).
Bagi
masyarakat Jawa, perangkat gamelan dalam seni karawitan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Sebagai
bangsa yang memiliki kultur budaya jawa, kita harus bangga memiliki alat
kesenian tradisional gamelan. Keagungan gamelan sudah jelas ada.
Duniapun mengakui bahwa gamelan adalah alat musik tradisional timur yang dapat
mengimbangi alat musik barat yang serba besar. Di dalam suasana bagaimanapun
suara gamelan mendapat tempat di hati masyarakat.
Gamelan dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan
seseorang. Orang yang biasa berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa
kesetiakawanan tumbuh, tegur sapa halus, tingkah laku sopan. Semua itu karena
jiwa seseorang menjadi sehalus gendhing-gendhing (Trimanto, 1984).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar